Tertawai Hidupmu!

Pada sorot matamu yang tajam, namun meneduhkan
aku bercerita banyak hal tentang, hariku yang buruk

Kau bukan lelaki yang dalam sekejab
menawarkan pundaknya untuk kusandari

Kau biarkan tubuhku bersandar pada udara
Hanya sorot matamu yang mengisyaratkan
supaya aku tegar

Kulanjutkan kilahku dalam bercerita
aku terdiam beberapa jenak dalam jeda
menunggu sepatah kata dari bibirmu

Aku bertanya tentang,
apa yang harus kulakukan

Katamu, dengan pandangan sorot mata itu
"Tertawalah, tertawai hidupmu."

Hanya itu,
kalimatmu menggantung di langit-langit kamar
kau pergi dalam tawa yang nyaris tak kudengar

------------
30 Sept_16

[REVIEW] Surat Cinta Untuk Makassar

"Rindu adalah terjemahan kata-kata yang terkekang dalam tubuh yang getah. Dipinjamkan jalan, hujan, dan mata bagi kisah cintah Ibu dan Ayah. Kabarnya di jauh sebelum kata-kata menemukan bentuk, puisi-puisi ibu tersusun dari angguk, kerjapan, dan senyum-senyum. Ialah Ayah, bahasa yang diam-diam membentuk dirinya ke sudut-sudut bibir ibu." hal. 11


Judul: Surat Cinta Untuk Makassar
Kurator: Asia Ramli Prapanca, Aslan Abidin, Shinta Febriany
Penerbit: De La Macca (Anggota Ikapi)
ISBN: 978-602-263-111-8
Tebal: i-173
Cetakan I: September 2016

#31HariBerbagiBacaan
 ".... aku bangga,
menjadi bagian dari sukmamu.
yang mengapungkan gairah panas dingin.
seperti pohon beringin
yang meliuk di Karebosi...." 
Aku merasa beruntung berjodoh dengan buku ini saat perayaan Festival Eight Makassar kemarin. Buku ini sangat sesuai dengan minat bacaku khususnya puisi dan cerpen.

Buku "Surat Cinta Untuk Makassar" merupakan kumpulan puisi dan cerpen dari 42 penulis dari berbagai latar belakang yang berbeda.  
Dalam setiap puisi yang aku baca, selalu menyajikan hal-hal yang berkaitan dengan adat, budaya khususnya Makassar. Setiap penulis dalam puisi seakan membawa pembaca ikut merasakan setiap kenangan yang dilalui di kota ini. Bagaimana pesona Losari, rumah adat, Rotterdam, kepedihan, cinta, tertuang dalam sebuah puisi yang menurutku tak lepas dari pesan-pesan moral.

Membacanya, aku nggak hanya merasa terhibur dengan luapan rasa dan kisah dalam buku ini, namun mengajak pembaca untuk mengenal lebih jauh tentang kota daeng. Tak perlu jauh-jauh mengagumi kisah cinta di negeri dongeng, melalui buku ini aku bisa terkagum-kagum dengan alur kisah baik orang terdahulu ataupun kisah penulis itu sendiri. Seperti puisi Sepasang Kekasih mengamati Kota karya Al-Fian Dippahatang, Yang Kelak Rindu Rindukan karya Azure Azalea, atau Balada Cinta di Ujung Jurang karya Yusuf Panrita.
Ada 24 puisi yang kesemuanya sangat menarik bagiku termuat dalam buku ini. Kesemuanya sangat mengasyikkan untuk dibaca, mengundang kembali kenangan bagi yang pernah melalui tempat-tempat itu di Makassar, dan menjadi pengetahuan baru bagi yang belum pernah mengunjunginya.  Khususnya pesona pantai Losari yang paling banyak menjadi latar dalam puisi ini, namun memiliki torehan rasa masing-masing.
"..... kita berjanji sekali lagi mengikat jemari
saling bertaut sampai laut sampai maut
aku lelaki datang dari laut berpantang surut
mencintaimu sampai datang maut. Sumpah para pelaut" hal. 18 

Oiya nggak hanya puisi romance berbalut nilai sejarah, namun ada juga beberapa puisi yang memberikan sindiran yang menurutku cukup menohok para pembaca.
".......Makassar dan segenap tanda tanya
adalah sebuah kota dengan muslihat
cinta dan kuasa diaduk tanpa hormat.
Di Kota ini, tersimpan segenap tanya.
Masihkah kita tega merawat luka dengan kuasa?" hal. 31

Yang nggak kalah serunya selain puisi dalam buku ini, terdapat 21 cerpen yang tak lepas dari nilai-nilai budaya kota Makassar. Semua kisah dalam cerpen ini sangat menarik bagiku. Ada kisah cinta yang memilukan, kerakusan seorang lelaki mencari harta karun melalui mimpi dengan menggali tanah, tarian cenning rara, suasana di pantai Losari, dan masih banyak lagi. Kisah yang terdapat dalam buku ini kembali mengingatkanku tentang kampung halaman yang sarat dengan adat dan mistis akan budaya. Jika disuruh memilih, cukup susah bagiku, karena semuanya memiliki alur masing-masing yang tak luput dari pesan moral yang disampaikan dalam cerpen di buku ini.

"Aku menangis jika melihat Losari yang telah dihilangkan." hal. 77
Salah satu cerpen yang membuatku terbawa emosi yaitu cerpen karya Faisal Oddang, dimana seorang perempuan yang bekerja di rumah Arung Latoa, tak terbayang saat bagaimana perempuan yang ternyata bisu itu harus terenggut keperawanannya. Bagaimana seorang perempuan bisu bisa membela dirinya? ah, sampai sekarang aku masih terbayang-bayang setelah membaca kisah ini akan kelanjutannya.

Untuk cerpen yang pesan moralnya paling menohok pembaca, ialah karya Didin Daeng Ronrong "Mereka Melarang Sangkala Menjadi Bissu". Sesakti apapun seorang anak, dan bagaimanapun ia memiliki tugas yang harus diemban, semuanya akan sia-sia jika meninggalkan kedua orangtuanya dalam gusar apalagi sudah renta. Aku berhenti sejenak saat membaca kisah ini.

Bagi kamu yang pecinta puisi dan cerpen apalagi yang sarat dengan nilai budaya dan mengandung pesona suatu daerah terutama kota Makassar, aku menyarankan untuk membaca buku ini.
Hanya sedikit saran kepada penerbit, untuk memperbaiki beberapa kata yang typo juga ada beberapa kalimat yang tanpa spasi. Secara kesuluruhan buku ini sangat menarik untuk di baca.

"....Biar Oktober datang, dan September telah menuntaskan rindunya." hal. 3


Salam Literasi :) dan selamat membaca :)

[CERBER OF MY BOARDING HOUSE PART 4] EMPTY


Kau benar. Terkadang, aku merasa bukan siapa-siapa. Dan parahnya, aku telah mempecundangi diri sendiri.

*****

Hari yang kunanti-nantikan akhirnya datang juga. Semalam, aku sempat gelisah sebelum tidur. Bagaimana tidak, besok aku akan ketemu dengan penulis yang belakangan ini jadi favoritku. Oh iyya, aku juga sudah memikirkan banyak hal. Kau tau, aku mau membaca bukunya untuk pertama kali. Selama ini, aku hanya membaca karya-karyanya melalui media sosial. Itu pun, baru separuh. Namun, aku terpaksa menelan rasa kecewa.

Hujan di sore itu, menunda langkahku untuk pergi. Berkali-kali kulirik jam, hujan tak kunjung reda. Aku bersyukur tidak sendiriam datang ke sana. Kuhubungi temanku untuk menemaniku dan dia bersedia. Kau tau, ada sesuatu yang mengharuskanku mengajak teman ke sana. Sesuatu yang membuatku ragu melangkah kaki menuju tempat itu. Namun, rasa penasaranku dan ingin memiliki buku itu telah menggebu-gebu memenuhi hasrat hatiku.

Tiga puluh menit berlalu. Kegiatannya sudah dimulai. Sial! Aku datang terlambat. Aku tiba di sana bersama temanku. Sayangnya, acaranya sudah berlangsung. Kulirik jam di hapeku. Sudah 45 menit sejak dimulainya acara itu. Aku betul-betul terlambat. Aku berhenti tepat di depan tempat itu. Tak ada celah untuk ikut bergabung. Semuanya melingkar. Host-nya sudah berbicara. Aku sempat melihat penulis itu. Dan ya Tuhan! Bagaimana mungkin aku langsung bergabung, saat semuanya terlihat khusyuk mendengar penulisnya berbicara. Aku melihat ke arah peserta, tak ada celah untuk ikut. Semua kursi sudah full. Ingin rasanya aku berteriak, menyesali keterlambatanku.

Aku melirik temanku, dia pun sama sepertiku. Nggak punya nyali untuk ikut gabung. Lima belas menit berlalu. Aku berharap akan ada panitia yang melihat kami berdiri di luar, lalu memanggil kami bergabung. Sia-sia. Tak ada panitia. Semuanya sibuk menyimak sang narasumber. Perasaanku ambruk seketika. Aku yang sangat antusias tiba-tiba jatuh terperosok begitu saja.

Aku berusaha mengendalikan diriku. Waktu kian memburu, sudah hampir magrib. Temanku sudah mendesak. Aku nggak bisa menahannya lebih lama lagi. Dia harus menyusul temannya. Aku sudah sangat bersyukur dia mau menemani aku. Padahal temanku sendiri terpaksa mengulur janjinya demi menemaniku hadir di acara itu.

Seketika, aku berusaha memberanikan diri. Walau sebenarnya aku rasa semangatku berkurang 50%. Aku melangkahkan kakiku, selangkah. Dan, deg! aku menghentikan langkahku. Seseorang yang kukenali hadir di acara itu. Seseorang yang tidak ingin kutemui. Entah kenapa. Namun, aku merasa kehadiranku hanya akan menjadi boomerang baginya. Atau, dia akan mengira bahwa aku hanya akan mencari perhatian. Oh tidak! pikiranku dipenuhi oleh asumsi-asumsi yang membuatku ngilu.

Aku sudah memikirkan ini. Seharusnya aku memperhitungkan itu. Aku tahu, dia pasti hadir di acara itu, tapi sungguh aku kira bisa melewatinya. Rasa penasaranku dengan penulis dan bukunya jauh lebih besar. Tapi, tak kusangka, nyaliku seketika ciut.
Andai saja aku tidak datang terlambat, aku tak akan menarik perhatian saat bergabung di acara itu. Tapi? keadaan berkata lain.

Aku urung melanjutkan langkahku. Kubalikkan badanku dan menggamit tangan temanku.

"Kita pulang."

Temanku hanya diam dan memandangku aneh. Jauh dari lubuk hatiku aku merasa malu dengannya. Aku tahu mungkin yang ada dalam pikirannya, aku ini pengecut. Dan itu benar. Senja saat itu sangat kelabu. Aku melangkahkan kakiku dengan perasaan ngilu menjalar keseluruh tubuhku. Rasanya ambruk.

***
Kosong. Begitu kira-kira perasaanku saat sampai di kos. Aku melihat Yuki duduk di dalam kamarku. Hari ini, dia kurang bersemangat. Malam ini, tak ada yang memasak di dapur, artinya tak ada makan bareng. Akupun demikian. Kurebahkan tubuhku di kasur. Pikiranku menerawang, mengingat kembali kejadian itu. Aku pulang dengan tangan hampa, juga dengan harapan yang kosong.

Keinginanku untuk menjadikan buku itu sebagai my first *** kini sirna begitu saja. Aku tak punya nyali menghadapi sesuatu yang kuhindari. Dan lagi, aku merasa sangat pengecut. Senja itu, membuatku menelan kepengecutanku sendiri. Bagaimana bisa aku mewujudkan impianku jika hal seperti itu tak bisa kuhadapi?

Bulir-bulir air mata perlahan mengalir di pipiku. Yuki tak Tahu itu. Akupun tak berniat menceritakannya. Yuki sedang sakit. Dan aku tak tahu harus berbuat apa. Pikiranku berkecamuk. 

***

Aku melirik tulisan yang menempel di dinding kamarku. Untuk sejenak, aku memikirkan saat-saat pertama kali berpindah di kos ini. Aku merasa memiliki hubungan batin dengan tempat ini. Kadang aku berfikir, semakin sering aku berada di kos ini, sebesar inilah duniaku. Yah, memang duniaku sebesar ini. Aku tak tahu banyak tentang dunia luar. Kau benar, wajar saja jika aku ini kurang gaul, jika tak ada Yuki, Fay, Nita, dan Three Tin, aku nggak tahu seperti apa datarnya hidupku.

Tulisan Ayah Ibu yang terlihat lebih mencolok dari tulisan lain seakan menilik lubuk hatiku. Gambaran tentang wajah dan perjuangan mereka ibarat bahan bakar yang tak pernah habis. Jika aku galau seperti ini, merasa sangat kosong, pengecut, dan hal-hal negatif lainnya, Ayah Ibu lah motivasi terbesarku.

Setelah mereka, keluarga keduaku saat ini adalah teman-temanku di kos. Canda dan tawa mereka membuatku bahagia. Kekecewaanku pada diri sendiri karena tidak berhasil mendapatkan buku incaranku telah menguras banyak emosiku. Aku memang sedih, sangat malah, Tapi, aku nggak boleh bersedih terlalu lama.

Aku berharap, hari esok akan lebih baik. Kupikir, kisah ini barulah permulaan.



-----------
Picture taken at https://s-media-cache-ak0.pinimg.com/originals/56/f4/c5/56f4c50c899a075d5b91f3fbdad8a7c9.jpg

[REVIEW] Bulan Terbelah di Langit Amerika

"Berjalanlah dan terus berjalan dengan niat dan kebaikan untuk mengejar restu kebaikan restu dari Allah, bersama orang-orang yang kau cintai, lalu sematkan dalam hati dan pikiranmu akan perjalanan hidupmu tentang surga yang akan kau gapai. Maka seberat, sepanjang, dan sebesar apapun halangan yang merintangi langkahmu, akan terbuka dengan sendirinya atas izin-Nya. Ingatlah, Tuhan akan mengirim malaikat-malaikat-Nya yang mempunyai keringanan tangan tak bertepi untuk menyelamatkanmu manakala kau hendak terpeleset di ujung jurang yang curam." hal. 123



BLURB


Apa? Wajah nabi Muhammad junjunganku terpahat di atas gedung ini? Apa-apaan ini! Penghinaan besar!” seruku pada Julia. Mataku hampir berair menatap patung di dinding Supreme Court atau Mahkamah Agung Amerika Serikat, tempat para pengadil dan terhukum di titik puncak negeri ini.

“Jangan emosi. Tak bisakah kau berfikir jauh, Hanum? Bahwa negeri ini telah dengan sadar mengakui Muhammad sebagai patron keadilannya. Bahwa islam dan Amerika memiliki tautan sejarah panjang tentang arti perjuangan hidup dan keadilan bagi sesama.

“Akulah buktinya Hanum.”

***********************


Judul : Bulan Terbelah di Langit Eropa
Penulis : Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan Pertama : Mei 2014
ISBN : 978-602-03-0545-5
Rate : 4/5
#31HariBerbagiBacaan





"Apa yang akan engkau lakukan jika punya waktu beberapa menit saja untuk menyadari bahwa 'harimu' telah tiba?" hal. 13


Meski telat membaca novel yang pernah booming ini, tak mengurangi rasa antusiasku membacanya. Terima kasih kepada teman yang sudah berbaik hati meminjamkan buku ini.

Novel ini berkisah tentang perjalanan Hanum yang tinggal di Wina bersama suaminya Rangga Almahendra. Takdir yang tak pernah disangka, membawa keduanya akan berangkat ke Amerika. Hanum yang diberikan tugas oleh Gertrud  Robinson untuk menyelamatkan perusahaan koran Heute ist wunderbar. Gertrud yang merupakan atasan Hanum, memberinya tugas ke Amerika untuk meliput peristiwa 11 September. 
Hanum merasa berat menerima tugas ini. Namun, ia tak punya pilihan lain. "Would the world be better without islam"? Bagaimana mungkin Hanum menolak tugas ini dari Gertrud yang juga mendapat tekanan dari dewan direksi? Jika saja orang lain yang akan mengambil tugas ini justru malah membuat nama islam semakin terpojokkan di mata dunia. Tapi bagaimana Hanum harus meramu topik ini agar tidak melecehkan agamanya sendiri?

"Media hanya butuh sensasi. Sensasi untuk menjaga eksistensi dan kehidupannya di tengah persaingan keras." hal. 45

Rangga yang kebetulan memiliki tugas atas idenya sendiri, mengharuskan ia ke Amerika dan menghadiri presentasi Phillip Brown, seorang dermawan yang tak tanggung-tanggung menyumbangkan kekayaannya untuk mendanai korban perang khususnya di Afganistan. Kali ini, diluar dugaannya, Hanum, istrinya juga memiliki tugas di Amerika. Lalu, bagaimana kisah perjalanan Hanum menemukan narasumber yang tepat? Sekitar tiga ribu lebih korban peristiwa pesawat menabrak gedung WTC. Tak satupun dari mereka yang ditemui Hanum bersedia menjadi Narasumber.

Membaca novel ini membuatku lupa keadaan sekitar. hehehe. Novel ini membuat pembaca ikut merasakan kisah yang sangat mendebarkan dari perjalanan Hanum dan Rangga. Sisi religius dalam novel ini sangat menohok pembaca untuk ditilik lebih jauh. Sebuah fakta yang tak lazim, jika negara-negara Eropa dan Amerika menganggap Islam sebelah mata. Wajar saja, jika Hanum mengalami kesulitan mendapatkan narasumber.

Aku merasa iri membaca novel ini, bagaimana kedua penulis yang jadi tokoh utama dalam novel ini dapat menyuguhkan sebuah kisah yang sangat mengulik-ulik sisi emosionalku. Kesan romantis dari keduanya membuat pembaca tersenyum-senyum sekaligus kagum. Aku kagum pada sosok Hanum yang gigih, juga pada Rangga yang menurutku memiliki banyak kejutan.

Ada juga tokoh lain yang muncul dalam novel ini. Michael Jones dan Julia Collins. Bagaimana keduanya memiliki sisi kehidupan yang berbanding terbalik. Jones, yang sangat membenci islam sejak peristiwa 9/11 dan menentang pembangunan masjid di sekitar Ground Zero. Julia yang merasa sangat kehilangan orang yang paling dicintainya harus menelan kepahitan sejak peristiwa 9/11, belum lagi Julia harus menghadapi ibunya sendiri yang sangat membenci islam. Mungkinkah Iman Julia yang muallaf goyah sejak peristiwa 9/11?. Lalu bagaimana cara Hanum meyakinkan mereka untuk menjadi narasumber? sementara itu, waktu yang dimiliki Hanum sangat sedikit.

Ada juga detik-detik yang sangat menegangkan saat membaca novel ini. Saat dimana Hanum dan Rangga terpisah karena insiden di salah satu tempat di Amerika. Apakah Rangga bisa menemukan Hanum ?

"Aku selalu merasa energi tali komunikasi yang paling kuat antara sepasang suami istri yang saling mencintai adalah Telekomunikasi hati. Ketika tak ada lagi peranti yang menjembatani keduanya untuk berbicara satu sama lain, kekuatan hati adalah ujung tombak yang tak tergantikan." hal. 106


Alur yang ada dalam novel ini kebanyakan alur maju. Sehingga pembaca bisa cepat mengerti setiap detail kisah dalam novel ini. Juga ending yang membuatku terperangah. 
Selain itu, aku cukup terhibur membaca novel ini, seakan ikut menjelajah negeri paman Sam, menguak fakta-fakta lain tentang keberadaan islam di Amerika, bagaimana sebuah patung yang dipahat dan bertuliskan nama nabi Muhammad, lalu keberadaan museum yang menyimpan banyak sejarah dimana Julia bekerja. Bahasa yang digunakan pun ringan sehingga tidak berbelit-belit karena terkadang, saat membaca novel bernilai sejarah, kadang aku harus berhenti sejenak untuk memahami sisi historis dalam novel tersebut.

"Setiap pertemuan selalu menyisakan perpisahan, cepat atau lambat. Manusia boleh mencintai manusia lain, tapi tak boleh melebihi cintanya pada sang Khalik." hal. 180

 ---------
No typo detected except out of my eyes. 


Selamat membaca :)

Sampah Imajinasi

Ada kenangan yang tak perlu diumbar

Ada kisah yang tak perlu diceritakan

Ada air mata yang tak perlu dikeluarkan

Ada hati yang menjerit tak perlu didengarkan

Karena terkadang, semuanya harus berakhir

di keranjang sampah imajinasi 

----------------

28 Sept_16

Hujan Mengguyur Senjaku

Riak-riak air terpercik ke segela arah
Suara rentetan klakson memekikkan telinga 


Seorang wanita mengangkat rok hingga tersingkap betisnya yang memutih
Buru-buru kualihkan pandanganku


Menatap pada langit diselimuti awan hitam
Sore ini seharusnya menjadi sore yang manis


Ku ajak dia menatap langit jingga di bibir pantai Losari
aku menggurutu terjebak dalam kemacetan


Sayang, maafkan aku...
Kali ini tak kutepati janjiku,


Lagi...
Hujan mengguyur senjaku

[CERBER OF MY BOARDING HOUSE PART 3] SAHARA


"Senyumnya masih sama, menyenangkan. Kalaupun ada yang berbeda, kini dia telah menemukan tambatan jiwanya."

------------------

Hari ini aku puasa. Bersama Yuki tentuya. Kejadian sehari sebelumnya tak terulang dan semoga tak akan pernah. Fay masih mengeluh kalau perutnya sakit, untuk sepersekian detik, aku kembali cemas. Namun, kutampik jauh-jauh.


08.10

Dengan berat hati, lagi dan lagi aku terpaksa bangun. Kali ini bukan Yuki yang membangunkanku, tapi teman kampusku. Aku mendengar suaranya memanggil-manggil di luar. Aku mengenali suara itu. Jujur aku sangat malas untuk bangun. Tidurku sangat pulas. Bagaimana tidak, aku dan Yuki tidur setelah makan dinihari untuk puasa ganti.

Kuraih ponselku. Masih jam 08.10 pagi. Kenapa Nining datang jam segini? dengan langkah tertatih karena masih setengah sadar, aku membuka pintu. Kupersilahkan Nining masuk.
"hoam.... masuk Ning, hoam... ada apa Ning datang pagi-pagi?" Aku nggak peduli apakah nining memerhatikan wajahku yang semraut dan rambut yang acak-acakan.

"Maaf ganggu Del, aku nitip tugas yah, oiya kamu punya nb? tolong bantu aku sekalian flashdisk, aku sangat buru-buru nih ke kampus. Udah telat" Nining terlihat buru-buru, dia bahkan tidak membuka sepatunya, sepatu ikat memang memakan waktu lagi jika sudah dibuka.

"Iya Ning, ini nb nya, nb temanku sih. Itu flashdsiknya ada di meja. Hoaam... ambil sendiri yah." Aku baring lagi setelah membuka pintu kamar. Kututupi wajahku dengan selimut. Dalam hati aku merasa bersalah pada Nining. Takut dia merasa aku cueki. Tapi jujur, aku sangat  mengantuk berat.

Lime belas menit kemudian

"Makasih Del, aku ke kampus yah. Maaf udah ganggu tidur kamu."

"Sedikit Ning." batinku.

"Iyah Ning, sama-sama. Hati-hati yah." Aku menutup pintu kamar kembali. Kulirik Yuki yang masih tidur. Mungkin dia merasakan keributan tadi saat temanku datang.

Aku mencoba tidur kembali, namun sia-sia. Aku nggak bisa tidur lagi. Lagipula, aku sudah berjanji untuk tidak tidur lama saat pagi, aku harus bergegas. Semangat untuk membaca buku dan menulis akhir-akhir ini menghantui pikiranku setiap detik.

Yuki sudah bangun. Three Tin dan Nita juga sudah bangun. Dan Fay masih tidur barangkali, pintu kamarnya masih tertutup. Hari ini aku sudah punya planning. Aku mau ke kampus temanku. Jaraknya lumayan dekat dari kosan. Di sana ada komunitas bahasa Inggris. Hari ini aku mau membaca tuntas buku karya Hanum. Harus.

13.00
 Aku nggak jadi ke kampus temanku. unexpected thing happend to me. Gara-gara mesin ATM eror saat aku narik sementara saldoku berkurang, aku panik. Hampir sejam aku menghabiskan waktu mengurusi mesin ATM yang bermasalah itu. Masalahnya jumlah saldo yang ingin kutarik nggak sedikit karena itu pembayaran lab.ku di kampus. Untung saja masalah itu terselesaikan. Tapi, gara-gara itu aku membatalkan niatku ke kampus temanku. Padahal aku sudah berjanji.

15.00

Aku baru terbangun dari tidur. Hari ini tidak banyak aktifitas yang kulakukan. Malam ini aku harus menyelesaikan bacaanku, stalking di blog-blog teman, menyelesaikan tulisan. Ah, terasa indah jika selalu merencanakan sesuatu. Tapi nyesek banget saat yang direncanakan tidak terlaksana.

17.00

Nita dan Yuki berbaik hati ke pasar untuk berbelanja kemudian masak bareng. Yuki nggak jadi puasanya. Katanya lupa niat. Dia cuma ikut-ikutan makan ternyata. Sebagai gantinya, dia mau memasak yang enak.
Salah satu ritual di kosanku, kami ceka-ceka (menyumbang uang masing-masing dalam jumlah yang sedikit guna menghemat pengeluaran dan meningkatkan kebersamaan). Nah seperti itulah di kosanku. Tak banyak memang, tapi nikmat kebersamaan itu ada. Yah meski jujur kuakui, yang paling sering masak itu Yuki. Jika dibandingin dengan teman-teman yang lain, sepertinya cuma aku yang kurang tau. hhhhhh

19.00

Kami semua kekenyangan. Seperti biasa saat makan, yang paling heboh adalah Bustin dan Fay. Gelak tawa selalu nyaring terdengar. Kadang, kami saling mengejek, menertawakan hal-hal yang sebenarnya nggak lucu-lucu amat. Dalam hati aku bersyukur bisa bertemu mereka. Kadang, ada perasaan nggak suka, tapi itu wajar dalam sebuah pertemanan. Bagaimanapun nggak ada yang sempurna kan? malam ini aku punya banyak waktu luang.

19.45

Aku berhenti mengetik di laptop. Seseorang memanggilku di luar. Aku menoleh ke arah itu. Dan kulihat Sahara berdiri tersenyum nyengir di dekat pintu. Ah iya, aku lupa. Dulu, Sahara pernah tinggal di kos ini. Satu kamar denganku. Hampir setahun. Dia pindah kos. Awalnya aku merasa kehilangan. Pertama, dia sahabat karibku sejak SMA, kedua, karena aku penakut, diawal-awal aku nggak bisa tidur cepat.

Sudah lama kami nggak bertemu, karena  kesibukan masing-masing. Sahara punya sejuta kejutan dalam hidupnya. Mungkin kau belum tahu. Dia benar-benar bersinar. Jika sudah membahas Sahara, rasanya butuh bab tersendiri untuk dia.

Malam ini dia datang tiba-tiba. Aku bersyukur. Sudah lama aku merindukan sahabatku ini. Aku selalu rindu. Dia selalu tampil cantik. Dan menurutku, dia sahabatku yang paling cantik. Aku hanya sedikit menyesal saat dia merubah rambut gelombangya menjadi lurus. Sahara mengenakan jilbab pasmina kekinian. Berwana kuning (somoga aku nggak salah, aku susah membedakan mana kuning mana orange). Dia kini terlihat lebih dewasa.

"Kawaaaan......."

Aku sepeti biasa. Saat bertemu kami berlari kecil-kecil seperti anak-anak lalu berpelukan layaknya teletubies. Kutanya kabarnya. Aku ingin dia berlama-lama di sini. Katanya, dia ingin bertemu dengan teman lamanya. Mungkin reunian pikirku. Nama yang dia sebut tak asing di telingaku. Benar, dia ingin bertemu dengan teman lamanya saat SMP.

Aku sangat menyukai kisah hidup Sahara. Penuh intrik dan selalu terjadi hal-hal yang tak terduga. Meski begitu, di balik senyumnya yang menyenangkan terdapat pilu dan luka yang mendalam. Kau mungkin tahu, rasanya kehilangan seseorang yang paling kita cintai, ibu.

Sahara yang sekarang bukan lagi Sahara yang dulu. Untuk cinta yang dia miliki telah berhenti pada satu hati. Kau tahu, ada saatnya seorang wanita berhenti mengejar masa lalunya. Merasa disia-siakan mungkin akan kita tepis saat cinta itu mengakar bertahun-tahun di hati. Namun, semua orang memiliki batas. Dan batas itu sudah menemukan titik temu.

Sahara sudah menemukan separuh jiwanya. Aku tak perlu lagi mendengar kisah cintanya yang dulu. Pun tak perlu lagi menawarkan pundakku saat dia menangis. Karena, Sahara sudah menemukan separuh jiwanya. Dan kuharap sesuai harapnya, dia orang yang tepat.

Aku tersenyum sumringah. Kami menghabiskan waktu bersama di kos. Ada Yuki yang sibuk mengerjakan tugas, tak memerdulikan aku dan Sahara yang sibuk bernyanyi. Tak apa jika waktu membaca dan menulisku terlewati. Bertemu Sahara saat ini adalah momen-momen berharga. Kedatangannya seperti senja. Aku menunggu di balik jendela, saat senja datang ingin kucurahkan apa yang terpendam, namun saat senja datang, ternyata diam dan menikmati hangatnya jingga adalah juga mencurahkan isi hati dalam diam.

Seperti kedatangan Sahara, walau banyak yang ingin kucurahkan, tertawa bersama dan mendengar kisahnya jauh lebih baik.

"Sebentar lagi dia akan datang kawan. Aku harus pulang."

Aku tersenyum lembut padanya, Sosok yang sedari tadi ditunggu sudah datang menjemput. Senjaku sudah pergi dan berlalu.

"Hati-hati di jalan Sahara."

-------------

28 Sept_16
picture taken at  https://s-media-cache-ak0.pinimg.com/originals/56/f4/c5/56f4c50c899a075d5b91f3fbdad8a7c9.jpg

Ayolah Sayang, Pejamkan Matamu

Aku meringis pada malam sepi
tanpa sakit, tanpa cela
suara tik tok keyboard menyerupai mesin tik
memecah keheningan
aku melawan diriku sendiri
susah betul mengaturnya

Aku menatap pada layar
terdiam untuk saat yang lama
tanganku kaku, suara tik tok itu terhenti
jari-jemariku tidak lelah
aku kehabisan ide, namun suara riuh masih bergelayut di kepala
susah betul mendiamkannya

"Ayolah sayang, pejamkan matamu"

----------

28 Sept_16

Memilih Diam

By: Bebhen fivefoot



Mungkin saya akan menjadi manusia yang  sangat bodoh waktu itu 
Karena alasan yang tak kumengerti, 
dunia terasa hening sejenak, 
tak ada suara maupun peristiwa, 
malaikat peri pun datang menyapaku seperti layaknya dogeng ibu Saat mata kita akan tertutup. 
Saya sadar ini lumayan sulit 
karena waktunya lebih singkat dari lampu merah saat hijau dijalan, 
tapi semoga jalan ini selalu hijau,
layaknya mencari rezeki yang setia, 
yang telah dijanjikan oleh doa-doa dan permohonan sebelum mata kita tertutup,
saya ingin menenun dedaunan agar kita bisa berteduh dibawahnya, 
semoga saat itu hujan turun dan kita berputar-putar hingga 360 derajat berkali-kali, 
dan ini terjadi disaat hujan reda dan menanti pelangi waktu itu. 
Ku ingin cerita ini terus berulang dan bersambung, 
alurnya pun kadang lupa pulang, karena kamu salah satu impian yang ku imingkan 
walau saat ini kumenyukaimu dalam diam...

---------
27 Sept_16

[CERBER OF MY BOARDING HOUSE PART 2] Fay A Misterious Girl


"Jika kau mengira hanya manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan di dunia ini yang ada, kumohon ralat kembali perkataanmu, kau bahkan harus tahu ada 'makhluk' yang bisa jadi ada di dekatmu, sesuatu yang tak terlihat"


--------------

"Kak Edel, bangun... bangun..." Seseorang mengetuk keras pintuku. Aku tak tahu ini jam berapa, yang jelas lagi dan lagi aku bangun telat. Kubuka mataku perlahan, kuraih ponsel yang tak jauh dari tempat tidurku. Astaga! sudah jam 11.00 siang. Aku menggerutu dalam hati. Mengubah kebiasaan ini sungguh sulit. Berjam-jam telah  kuhabiskan karena tidur pulas melewatkan nikmatnya memandang embun di pagi hari. Buru-buru aku menepis penyesalanku yang bangun kesiangan. Suara ketukan keras Yuki telah membangunkanku. Dan kenapa pula dia terdengar panik?.
"Kak Edel, cepat buka pintunya. Kak Fay... kak Fay." Tanpa berfikir lama, aku membuka pintu kamar, kulihat wajah tempias Yuki
.
"Ada apa yuki?" Aku bertanya sambil menguap. Rasa kantukku masih ada meski bangun kesiangan.

Yuki tak menghiraukan pertanyaanku. Setelah kubuka pintu kamar, Yuki menunjuk arah dapur, tak jauh dari kamar. Yuki berlari ke arah dapur dan hampir saja aku tak bisa bernafas setelah melihat apa yang ada di arah dapur.
"Astaga! Fay pingsan lagi!" Deg... jantungku terasa terpompa lebih cepat. Sudah sebulan lebih saat kami semua kembali menghuni kos setelah lebur semester, selama sebulan ini tak pernah ada kejadian aneh yang berarti. Tapi hari ini? Fay pingsan lagi.

Aku dan Yuki memapah Fay. Cukup berat. Tapi, adrenalin kami meningkat. Kami membaringkan Fay di dalam kamarnya. Aku masih diliputi tanda tanya. Aku sendiri melihat Fay tergeletak di dekat dapur, kacamata yang dia pakai pecah. Apa separah itu saat Fay jatuh pingsan?.
"Yuki, kenapa Fay bisa pingsan? kamu liatnya kapan?" aku terus bertanya pada Yuki, jauh dari lubuk hatiku aku memendam kecemasan. Jangan sampai kejadian lama itu terulang kembali.
"Aku nggak tau kak, aku turun di bawah buat bukain pintu, ada teman yang datang, pas turun, aku melihat ke arah dapur, eh pas liat ke dapur, aku liat kak Fay tergeletak. Makanya aku mengetuk keras pintu kak Edel, jangan sampai..."
Aku menatap cemas. Fay masih belum sadarkan diri. Sialnya, Yuki harus keluar menemani temannya. Sesuatu yang sangat penting dan nggak bisa dia tunda. Dengan berat hati Yuki meninggalkan aku dan Fay.
"Maaf kak, aku harus pergi sebentar. Kak Edel jangan khawatir ada Three Tin yang menemani."
"Memang saat Yuki pergi, aku ditemani oleh Three Tin (baca part 1), tapi itu tidak mengurangi rasa cemasku. Mereka anak baru, bagaimana kalau terjadi apa-apa dengan Fay. Ya ampun, saat-saat seperti ini aku jadi paranoid. Padahal dalam ajaran agamaku, aku nggak boleh seperti ini.

Setengah jam berlalu. Fay masih pingsan. Kali ini, ekspresinya berbeda, ada raut di wajahnya yang tak seperti biasa. Ia mengomat-ngamitkan sesuatu tapi entah itu apa. Kadang, ia tetap tenang tanpa ekspresi, dan hal yang membuatku merinding, saat dia cekikikan tertawa, walau hanya sebentar, aku sudah menebak. Tak perlu lama-lama. Fay kembali kambuh. Akankah dia akan kesurupan lagi?

Istilah ini kami pakai, saat mendapati seseorang yang dirasuki makhluk halus, Awalnya aku sulit percaya, tapi itu ada dalam ajaranku juga, islam mengatakan bahwa ada makhluk tak terlihat. Jin dan malaikat. Malaikat adalah makhluk yang tercipta dari cahaya, malaikat hanya senantiasa berdzikir kepada sang Mahakuasa. Berbeda lagi dengan jin, ia sama dengan manusia, punya kehidupan. Bedanya, jin dapat melihat manusia. Itu yang aku tahu. Percaya atau tidak, makhluk itu memang ada. Dan hal yang masih menjadi misterius bagiku, kenapa makhluk seperti itu mengganggu manusia? kenapa juga selalu mengganggu Fay?

Suara jeritan Fay membuyarkan lamunanku. Seketika aku memegang kuat-kuat tangan Fay. Three Tin juga ikut membantu. Dalam hati, aku tak berhenti beristigfar. Aku tak tahu bagaimana cara mengobati orang yang kesurupan. Aku hanya mengambil segelas air putih, kubacakan ayat kursi dan tiga qul (an-Nas, al-Falaq, al-ikhlas). Seperti yang dilakukan oleh salah satu keluarga Fay saat terakhir kali kesurupan.

Kupercikkan air putih itu ke badan Fay, lalu kuusapkan di wajahnya. Sejenak, suasana hening. Mungkin obatnya nggak terlalu manjur, mengingat ketakutanku yang tak bisa kutampik. Tapi, kali ini Fay nggak terlalu meronta-ronta. Tiga puluh menit kemudian, Fay sadar dari pingsannya. Aku baru bisa bernafas dengan lega. Seolah semua beban telah terangkat dari bahuku.
"Fay, gimana perasaanmu? kamu udah baikan? kok bisa kena lagi? memangnya ada apa?
Seperti biasa aku nggak bisa menahan rasa penasaranku. Kutanya Fay yang sedang memperbaiki posisi duduknya.
"Begini, penunggu rumah ini sedang menegur kita. Sebenarnya saat aku tidur sendiri di kamar, aku bermimpi. Dia datang di kamarku, di bilang kalau kita semua terlalu ribut. Dan dia sudah menegur salah satu dari kita. Katanya, dia menyentuh pundah salah satu dari kita."

Deg, kali ini debaran jantungku semakin tak karuan. Apa yang dikatakan Fay ada hubungannya dengan cerita Yuki. Sehari sebelumnya Yuki pernah bilang saat dia mau tidur dia merasa ada yang aneh. Seolah ada yang memegang pundaknya saat berbaring di samping Nita. Dan saat dia menoleh, tak ada siapa-siapa. Sangat aneh.

Aku bergeming. Memikirkan perkataan Fay dan kejadian Yuki. Nggak mungkin semua hanya kebetulan. Cepat-cepat aku menampik pikiran itu. Aku nggak boleh paranoid. Syukurlah Fay sudah sadar. Kami semua kembali ke kamar masing-masing. Aku melihat sekilas ke arah Fay. Ada kecemasan, tanya yang begitu berkecamuk dalam pikiranku.

***
Pukul 23.00 malam senin

"Yuki... perut aku sakit... duh.." Fay yang sedari tadi mengeluh tentang perutnya yang sakit.

Sebenarnya bukan hanya Fay, aku dan Yuki juga mengalami hal yang sama. Sakit perut. Namun, tak separah Fay.

"Apa ini gara-gara makanan yang kita makan tadi yah? tapi apa? bubur kacang ijo itu atau gorengan yah?" Aku menatap mereka, memastikan jika penyebab sakit perut kami gara-gara makanan.

"Nggak tau juga kak, bisa jadi." Yuki menjawab pertanyaanku seadanya sambil menatap layar laptop.

Aku yang juga asyik menatap layar laptop menunggu respon Fay yang berbaring di tempat tidurku. Rasanya hening, aku menoleh ke arah Fay. Dan astaga!!!

"Yuki, Fay pingsan lagi. Lihat, dia nggak tidur, apalagi baring. Masa orang tidur gitu posisinya."

Aku dan Yuki mengguncang tubuh Fay. Tapi, dia tidak sadar. Kucoba mencubit pipinya, ia tidak merespon. Aku dan Yuki saling bersitatap.

"Bagaimana ini?" tanyaku pada Fay.

"Nggak tau juga kak, tapi kayaknya bukan itu deh, kali aja dia pingsan gara-gara sakit perut."
Yuki memang selalu tenang saat menghadapi situasi seperti ini, berbeda dengan aku yang selalu panik.
"Gimana kalau... em... yaudah deh Yu, jangan-jangan cuma karena sakit perut, tapi bagaimana kalau...."
"Kak Edel, jangan parno' dulu. Yang terpenting kita kasih kak Fay minyak kayu putih dulu, perbaikin posisinya."

Aku hanya mengangguk pelan. Membantu Yuki memperbaiki posisi Fay yang tidak sadarkan diri.

25 menit kemudian
"Yuki, ini udah hampir sejam. Fay belum sadar juga, kita harus apain ini anak, ya ampunnn..."

Aku tak bisa lagi menahan rasa cemasku. Yuki yang dari tadi tetap tenang kini juga sudah ikut cemas.
Saat itu, kami sengaja tidak memanggil Nita dan Three Tin. Kami pikir bisa mengatasinya, lagipula sepertinya mereka sudah tidur semua. Hanya Nita dan sepupunya yang masih terjaga.

"Ada apa kak? kak Fay kenapa?" Nita yang baru saja turun, datang ke kamar. Nita memang tidak tahu kalau Fay pingsan. Aku khawatir mengganggu dia yang kebetulan sepupunya datang berkunjung.

10 Menit berlalu

Ada yang aneh. Fay tiba-tiba mengeluarkan suara aneh. Dia mengomat-ngamitkan sesuatu yang entah apa. Lalu suaranya berdesis seperti ular.
"Astaga, Fay! Yuki, pegang tangannya. Dia meronta-ronta."

Aku, Nita dan Yuki memegangi kuat-kuat kaki dan tangan Fay serempak. Aku sudah panik. Suasana di kos sangat mencekam, sudah tengah malam. Sunyi.
Sepupu Nita akhirnya turun. Ada sedikit rasa lega. Setidaknya ada laki-laki yang bisa membantu kami. Maklum, semua penghuni kos adalah perempuan. Kebetulan malam ini sepupu Nita datang menjenguk. Kak Ivan sebenarnya sudah mau pulang. Namun, dia melihat kami memegangi Fay kuat-kuat dan mengurungkan niatnya.

Untuk pertama kali, aku melihat sendiri Fay seperti mengejang. Tangannya sangat dingin, kakinya sangat kaku dan yang membuatku tercengang seolah ada sesuatu di atas kakinya yang sudah mengeras seperti kayu.

Nggak mungkin dia bercanda jika kondisinya seperti ini. Aku masih diliputi kecemasan. Kasian temanku ini, dia akan merasakan sakit seluruh badan jika sudah sadar nantinya.

Tenaga kami tidak cukup. Aku, Nita, dan Yuki tidak sanggup melawan Fay yang meronta. Akhirnya Kak Ivan turun tangan. Nggak lama setelah itu, Three Tin juga  masuk di kamarku. Mereka baru tahu kalau Fay pingsan lagi.

"hihihi....." suara cekikan itu sungguh membuatku merinding. Bayangkan, Fay yang berdiri meronta saat kami pegangi, tertawa cekikikan. Seolah menganggap kami dengan enteng. Ada rasa takut menjalar ke seluruh tubuhku. Kulihat Yuki memegang tangan Fay kuat-kuat, begitupun Nita menopang tubuh Fay. Three Tin juga ikut membantu.

Aku hampir kalap. Sudah juam dua lewat. Fay masih belum sadar. Dan baru kali ini dia meronta sekuat ini. Dia bukan dirinya lagi. Dia berdesis seperti ular. Dan oh Tuhan... mengapa pula kaki dan tangannya terasa kaku seperti kayu yang siap dipatahkan?

Kami berkali-kali berucap istigfar dalam hati. Suara al-Quran di ponselku kunyalakan dengan keras. Ada perasaan bersalah menyelinap dalam hatiku. Malam itu sangat mencekam. Bulu kudukku merinding. Kulihat skeliling kamar, adakah sesuatu di sana berdiri menatap mengawasi kami? seketika kurasakan bayangan melintas di sampingku.



#tobe_continued

-------------

27 Sept 16
Picture taken at  https://s-media-cache-ak0.pinimg.com/originals/69/c2/fe/69c2fec91528b211cf500d7241daf479.jpg

Hati Seorang Ibu

"pada malam saat aku gusar, ingin kupeluk dirimu ibu... tapi jarak dan waktu berkata lain, ijinkan aku memelukmu dengan penaku"

 


Seperti apakah hati yang kau miliki hinnga ia tak dapat terbalaskan?
cinta yang kau ramu sedemikian rupa berbuah kasih sayang
Sebelum kau marah, kau tersenyum ramah
tak ada gurat amarah di wajahmu, hanya senyum,
senyum ibu yang tak pernah kusadari betapa besarnya cinta di balik itu

Kau ibarat matahari, dengan hatimu kau sinari kami dengan cinta dan kasih,
adakah kau menuntut balas?
katamu suatu hari
"nak kau lihat sepatu ibu-ibu itu, lumayan cantik yah nak"
Aku yang masih ingusan, hanya melirik sekilas
kulirik juga sendal yang sudah rapuh masih kau kenakan
aku belum lupa hari itu ibu, namun baru hari ini aku sadar
dibalik sendalmu yang sudah rapuh dan reot itu
kau rela dan tak malu memakainya
itu karena hati yang kau miliki
Berapa pun bait kutulis untuk melukiskan betapa baik hati seorang ibu
itu takkan pernah cukup
duhai ibu, hatimu selaksa sinar matahari
dukamu kau simpan baik-baik dalam etalase pedih yang kau tutupi dengan kerelaan
duhai... hati seorang ibu

----------
27 Sept_16
pict taken by google

[CERBER OF My Boarding House PART 1] THREE TIN

"Aku memang diam, tapi aku mengamati. Aku mungkin tak ikut tertawa, menonton bareng, masak bareng, makan bareng, tapi aku sesungguhnya ada. Meski dalam diam, diam-diam aku memerhatikan."
----------


Memasuki tahun ketiga di bangku kuliah membuatku sedikit cemas akan masa depan yang masih samar. Bukan lagi tentang mimpi yang digantung pada langit, namun memetiknya menjadi sebuah kenyataan. Pada fase itu, aku terkadang dibubuhi semacam pikiran-pikiran yang membuatku tertekan. Syukurlah pada saat-saat seperti itu, Tuhan masih mengulurkan kasih sayangNya padaku.

Suka duka menyandar status ini memang memiliki kisah tersendiri. Mahasiswa. Terdengar elegan, menyelamatkan reputasi, dan tentunya alasan peralihan status jobless. Dan aku nggak mau banyak soal ini dulu, terlalu berteori dan terasa membosankan.

Aku ingin berbagi hasil pengamatanku yang diam-diam selama menghuni kosan ini. Sebut saja aku tinggal di Bongaya. Kau sudah pasti bisa menebak kampusku. Aku biasa menyebutnya kampus kuning, karena memang begitu kenyataannya. Aku paling nggak suka menyebutkan sesuatu secara langsung, misal warna. Jika itu merah, aku tak mau menyebutnya merah, paling akan kusebut dia warna yang melambangkan cinta, keberanian, sekaligus ego yang tinggi.

Maaf jika di sini aku berkata aku, aku berkisah aku, bukan kamu dan kamu. Bingung? baik aku juga sebenarnya. hehehe tapi  di balik kalimatku itu ada pesan tersirat.

Back to the laptop aja deh.
Aku sangat menyukai kosanku ini. Terdiri dari lima kamar. Dua kamar di bawah dan tiga kamar di atas. Saat mengetik kisah ini sekarang, aku sendiri di bawah. Semua teman-teman kos ada di atas. Mereka ngumpul bareng, nonton bareng. Aku? Belum pernah nobar bareng selama THREE TIN sang penghuni baru mendiami kosan ini.

Kosanku ini terbilang sangat strategis di banding tempat-tempat kosan lain. Selain karena sangat dekat dengan kampusku, aku merasa nyaman di sini. Ada aturan memang, tapi Bu kos sang pemilik nggak pernah tuh kepo'in kami-kami. Malah jika ada masalah entah itu soal listrik, keran macet, Bu kost dengan sigap merespon keluh kami. Hanya satu yang aku kurang suka. Tapi aku nggak bisa bilang, entar disangka ngegosip. hehehe

Dulu, saat pertama menghuni kos ini, aku bersama tiga sahabatku kompak tinggal bareng. Ada Sahara teman sekamarku, ada Fay tetangga kamarku (dia yang paling cantik sekosan di sini hihi), juga ada Ismi. Kami semua teman seperjuangan, sama-sama mahasiswa di kampus kuning. Awalnya, hanya ada satu kamar di bawah, tapi sekarang ada dua, salah satunya aku yang huni.

Seiring berjalannya waktu, Sahara dan Ismi tidak lagi menghuni kos ini. Sahara sahabatku satu tahun setelahnya, pindah kosan juga pindah kampus. Awalnya aku sedih dan merasa kehilangan, secara dia adalah soulmateku, namun kebersamaan nggak selalu seperti akar dan batang, terkadag kita harus menjelma menjadi daun dan embun. Pernah kejadian beberapa kali pencurian di kosku, kami semua takut, dan itulah yang membuat Ismi pindah. Aku sendiri masih betah, mungkin juga Fay. Jadi tinggal kami berdua yang bertahan.

Tahun kedua datang penghuni baru. Namanya Nita. oiya saat itu rumah kos ini sudah direnovasi. Dua kamar di bawah, dan tiga kamar di atas. Ditambah lagi satu kamar mandi. Kata Bu kos supaya kami nggak antri di pagi hari.

Nita meskipun penghuni baru, dia luwes bergaul. Aku mengenalnya dengan baik. Meski hal terlucu yang nggak bisa aku lupa saat pertama dia tinggal di sini. Sebenarnya kos ini sedikit horor (jujur aku merinding sekarang) nah, si Nita berasumsi ini horor karena penghuni lama sering bawa' cowok kali, itu yang buat aku sempat naik pitam, gimana nggak naik pitam, itu semacam tuduhan tak berdalih yang diasumsikan begitu saja. Well, lupakan itu, itu terjadi tak lebih dari sebuah kekurangpengetahuan dan kesalahpahaman. Sekarang ini hubungan kami baik-baik saja. Malah aku merasa dia seperti adikku sendiri. Oh iya Nita punya teman, namanya Yuki.

Yuki itu berasal dari Palopo. Meski bukan penghuni tetap, dia selalu nginap di sini. Dalam hal masak-masak dia jagonya. Adanya dia di sini sangat menggembirakan, dia selalu masak, dan masakannya itu mengingatkan aku dengan masakan mama. Yuki sangat ramah, berisi (lawan kata dari kurus) ekspresi mukanya lucu, tapi dia cantik. Oiya kesukaannya Doraemon sama dengan Fay.

Memasuki tahun terakhir di kampus kuning, dua kamar di atas kosong. Eh aku lupa, sebelumnya dua kamar itu di huni oleh Kak Ros dan Shinta. Shinta awalnya cuek sama kami-kami, tapi semenjak kejadian aneh di kos yang buat kami ketakutan, Shinta sering nobar sama kami. Kalau Kak Ros jangan tanya lagi, dia itu supel dan ramah. Orangnya penurut, nggak banyak membantah, mungkin dia masuk dalam kategori cewek idaman pria dalam hal sifatnya yang penurut dan lembut. Sayang, Kak Ros dan Shinta sudah pindah kos. Aku merindukan mereka berdua.

Lanjut, tahun ini, kami kedatangan tiga penghuni baru. Kamar tengah atas dihuni dua orang, sementara yang paling pojok kiri cuma satu orang. Maklum yah mereka itu maba (mahasiswa baru) masih innocent banget. Tapi aku suka, mereka masih lugu-lugu. Kamar tengah di huni oleh Austin dan Olvin. (semoga aja ejaan penulisan nama mereka benar). Yang kamar pojok dihuni oleh Bustin. Nah lo! entah kebetulan atau bukan, akhiran nama mereka sama-sama TIN! Jadi, aku sama Fay, Nita dan Yuki kompak manggil mereka dengan sebutan THREE TIN. Kadang kami salah sebut nama, merasa lidah keseleo, atau kebalik-balik, jadi untuk singkatnya, kami panggil mereka THREE TIN.

Belakangan ini, kami sering makan bareng. Dinner malam ini pun kita makan bareng. Oiya aku belum bisa cerita banyak hal tentang THREE TIN. Sejauh ini aku cuma mengamati saja. Aku belum pernah ngobrol lebih jauh sama mereka selain saat makan bareng, saat berpapasan. Baiknya, mereka itu ramah-ramah semua. Saat ini, Fay, Nita dan Three Tin nonton bareng.

Oiya pernah Yuki bilang ke aku sesuatu. Katanya aku itu meskipun dia teriak kebakaran, mungkin aku nggak merespon. Aku sadar kenapa Yuki bilang gitu, mungkin kesel. Pernah dia ngajak ngobrol aku saat mengetik, aku cuma jawab, "oh..iya...em...yah...begitu..mantap" padahal pertanyaannya nggak ada sama sekali kaitannya  dengan jawabanku. Kepada Yuki, dan semuanya aku minta maaf yah jika terkesan cuek dan unsocial. Aku mau kok kenal lebih dekat dengan kalian, sangat bahagia saat makan bareng, apalagi saat berpapasan saling melempar senyum manis.

Ada saatnya kok aku akan gabung dengan kalian. Sejauh ini, aku masih suka asyik masyuk di kamar sendiri, baca buku sendiri, ngetik sendiri, mikir sendiri, eh tapi lucu yah kalau makan tapi bareng. hahaha

Rasanya tanganku udah pegel. Aku dengar Fay udah balik di kamarnya, alhamdulillah dari tadi sebenarya aku merinding sendiri. Eh... dia balik lagi ke atas lagi. Gawat. Sepertinya udahan dulu yah.
Selamat istrahat, selamat bermimpi, selamat menanti embun dan pagi.
Sampai ketemu lagi di lembar kisahku yang lain :)

---------
Ainhy Edelweiss


"pada malam yang heing, kesusahan mata yang tak mau terpejam, terbayang wajah ayah dan ibu, juga kamu."

[REVIEW] ANNE OF WINDY POPLARS

"Seketika aku jatuh cinta pada rumah itu. Tentu bisa kau rasakan, ada rumah-rumah yang langsung memikat hatimu begitu kau melihatnya pertama kali dan entah kenapa, kau pun tak bisa menjelaskannya." hal. 19


 Judul: Anne of Windy Poplars
Penulis: Lucy M. Montgomery
Penerjemah: Yarmanto
Penerbit: Qanita
Cetakan 1: Oktober 2009
Tebal: 440 halaman
ISBN:  978-602-8579-01-8
Reading challenge #31HariBerbagiBacaan


Blurb

Kali ini, Anne datang ke Summerside sebagai kepala sekolah menengah, terpisah jauh dari sang kekasih, Gilbert Blythe. Karier pertama Anne sebagai kepala sekolah tak mulus. Dia ditentang keluarga Pringle, "trah bangsawan" Summerside, yang menginginkan salah satu keluarga mereka sebagai kepala sekolah, mulai dari kenalan Jen Pringle memimpin teman-temannya membangkan dan menghina Anne, hingga Mary Pringle yang hanya memikirkan kecantikannya.

Namun, Anne tak menyerah. Dengan keceriaan dan keberaniannya, dia mengubah kehidupan banyak orang. Membantu Jarvis dan Dovie kawin lari, melumerkan hati keluarga Pringle dengan informasi rahasia, menguak kutukan Tomgallon, hingga mengantarkan Elizabeth kecil ke hari esok. Kehadiran Anne di Summerside bagaikan sinar mentari yang mencerahkan dan menumbuhkan Summerside. Akankah Anne melupakan rencananya bersama Gilbert?
------------------------------------------------------------------

Awal membaca novel Anne aku sedikit terkecoh dengan cara penulis meletakkan sudut pandang dalam novel ini. Aku mengira sudut pandang yang digunakan adalah pelaku pertama, dimana Anne bercerita tentang segala kehidupannya, namun setelah mengikuti alur dalam kisah ini, baru aku tahu kalau sudut pandang yang digunakan adalah pelaku ketiga yang serba tahu. Meskipun penulis menggambarkan seolah-olah Anne yang menjadi pelaku utama.

Pertama kali membaca karya Lucy M. Montgomery,  Anne of Windy Poplars merupakan kelanjutan novel serial Anne yang ke empat. Jadi, untuk kisah Anne yang pertama sampai ketiga aku belum baca. heheh Tapi, aku jatuh cinta dengan tokoh ini. 

Novel ini berkisah tentang Anne yang pertama kali menjalani karirnya sebagai kepala sekolah di Summerside. Tempat yang sangat asing bagi Anne. Awal menjajakan kaki di Summerside, Anne mencari tempat tinggal untuk disewa. Beberapa pemilik kontrakan menolak Anne.

"Tapi aku tak suka memerintah murid dengan menyebabkan ketakutan. Aku ingin murid-muridku menyayangiku." hal. 63

Windy Poplars adalah sebuah rumah kontrakan yang menarik perhatian Anne. Di sana Anne menjadi salah satu penghuni baru Windy Poplars yang menurutnya adalah sebuah rumah yang indah dan suasananya seperti Green Gables. Anne disambut oleh dua janda penghuni Windy Poplars, Bibi Kate yang tak menyukai novel, Bibi Cathy yang justru menyukai novel dan Rebecca Dew yang tentunya bertanggungjawab di dapur. Anne membutuhkan waktu untuk beradaptasi dengan penghuni lain yang masing-masing memiliki karakter yang berbeda. Terutama Anne harus menjaga perasaan Rebecca Dew untuk tidak terlalu menyayangi kucing meski sebenarnya hanya Dusty Miller, kucing peliharaan Bibi Cathy yang bisa menghibur Anne.

Tantangan di Summerside adalah keluarga Pringle, keluarga bangsawan yang mendominasi Summerside. Anne merasa tidak dihargai oleh keluarga Prigle. Terlebih saat salah satu keluarga Pringle gagal menjadi kepala sekolah. Sebagai kepala sekolah yang baru, Anne mau tak mau harus menghadapi murid-muridnya yang kebanyakan dari keluarga Pringle. Terutama Jen Pringle. Siswi yang sebenarnya cantik tapi sangat memusuhi Anne. Hmm.. kalau aku jadi Anne, lantas mengajar di sekolah terus dikerjain habis-habisan sama murid-muridku sendiri, sanggup nggak yah aku bertahan?

"Biasanya orang yang paling kubenci di dunia ini adalah orang yang merusakkan ujung penaku." hal. 68
Aku ketagihan membaca kisah Anne. Selalu ada hal-hal baru yang membuatku kagum dengan karakter Anne. Dia gadis periang, penuh mimpi dan tentunya semangat. Anne bahkan memiliki seorang teman kecil bernama Elizabeth. Tanpa Anne, Elizabeth tak akan bertemu dengan ayahnya dan keluar dari lingkar hidupnya yang kelam, Katherine sang wakil kepala sekolah yang super judes, miss Ellen penghuni Mapleburst, dan masih banyak tokoh-tokoh lain yang belum aku sebutkan.

oh iya ada beberapa adegan lucu dalam novel ini yang mengusir kejenuhanku saat merasa bosan membaca. Yaitu saat Anne menghadiri acara makan malam salah satu keluarga Pringle. 

Lalu bagaimana cara Anne agar menaklukkan keluarga Pringle? Apakah Anne memilih berhenti menjadi kepala sekolah? Saat di Summerside Anne terlibat dalam kehidupan di Windy Poplars, Elizabeth, keluarga Pringle dan juga karirnya. Hmm apakah ia bisa kembali ke Green Gables dan bersatu dengan Gilbert kekasihnya?

Oiya membaca novel ini seakan-akan pembaca akan menjelma sebagai Gilbert. Gilbert kekasih Anne yang membaca surat-surat Anne. Ini merupakan pengalaman pertamaku membaca dengan alur dan sudut pandang yang unik di novel ini.

Latar tempat yang digunakan membawa imajinasi kita pada keindahan pulau Prince Edward yang terletak di Londond. Pembaca juga akan mengenal model fashion klasik di Inggris.

Hal yang membuatku greget saat baca novel ini yaitu penulis tidak menceritakan perihal Gilbert, tentang bagaimana dia, pendapat dia. Seolah Gilbert tokoh yang silent. Namun, secara keseluruhan aku menyukai novel ini dengan karakter tokoh utama yang membuatku jatuh cinta.

Bagi kamu yang menyukai tokoh berkarakter periang, penuh semangat, dan mimpi aku saranin untuk baca buku ini. Yang udah baca selamat bernostalgia :) 

"Jangan sampai kita tumbuh terlalu tua dan bijak... jangan, jangan jadi terlalu tua dan jangan terlalu konyol untuk menghayalkan sebuah negeri dongeng." hal. 139

Member of Stiletto Book Club

Komunitas Blogger Makassar

Komunitas Blogger Makassar, Anging Mammiri

Member of Warung Blogger

Warung Blogger

Member of Blogger Perempuan

Member Hijab Blogger

Free "Care" Day

Free "Care" Day