Melepas Senja

Jauh dari orangtua memang menyesakkan. Aku yang masih remaja dan baru memasuki bangku SMA, terpaksa menahan perih jika mendengar teman-temanku membicarakan orangtua mereka. Sejak peristiwa saat kelas tiga SMP, aku harus merelakan orangtuaku merantau di tempat jauh. Bersama adik dan nenekku, aku memikul beban sekaligus rindu. Rindu kepada ayah dan ibu.

***
Seharusnya, acara penamatan yang begitu meriah saat pelepasan kelas tiga SMP di sekolahku menjadi momen yang tak terlupakan. Senyum mengembang di setiap raut wajah teman-teman sekelasku. Siswa perempuan menggunakan baju kebaya, dan siswa laki-laki menggunakan batik. Setiap siswa diwajibkan mengundang orangtua masing-masing di acara penamatan. Dan aku, aku hadir di acara penamatan itu. Bagaimanapun, itu momen yang sangat berharga bagiku. Hanya saja, aku datang sendiri di tempat itu tanpa ayah dan ibu. 

Aku memakai baju kebaya khas daerahku, Bulukumba. Salah satu kabupaten di Sulawesi. Kata nenek, penampilanku sangat anggun dan cantik. Sayang, nenek nggak bisa menemaniku di acara penamatan itu. Nenek sudah tidak bisa duduk berlama-lama di sebuah acara, maklum usianya yang semakin mendekati setengah abad. 

Kulirik teman-temanku. Mereka terlihat sangat bahagia. Beberapa di antaranya adalah sabahatku. Fhya yang datang dengan orangtuanya datang menghampiriku. Dia seperti biasa, Fhya selalu tampak ceria dn sedikit manja. Fhya menanyakan kabarku dan tentunya dia tampak bingung saat melihatku datang sendiri tanpa orangtua. Aku hanya menjelaskan seadanya. Yang sebenarnya, masih kusembunyikan kalau orangtuaku pergi di Malaysia.

Acara begitu meriah. Penyambutan dari kepala sekolah serta bapak camat menambah kemeriahan acara ini. Tak ketinggalan suguhan tarian seni dan musik semakin memeriahkan acara penamatan. Aku duduk tak jauh dari panggung bersama Fhya dan kedua orangtuanya. Setidaknya, aku nggak merasa canggung dan minder yang datang tanpa orang tua. Kehadiran Fhya, membuatku bisa menikmati acara ini. 

Dan tibalah di bagian yang ditunggu-tunggu para siswa. Pengumuman tiga siswa terbaik di sekolah ini. Semua orang tahu, acara ini yang paling dinanti-nantikan. Karena, kepala sekolah sendiri yang akan memberikan penghargaan kepada siswa terpilih, apalagi disaksikan para orangtua siswa. 

Aku tak berharap banyak untuk ini. Prestasiku di sekolah memang cemerlang. Tapi, banyak juga saingannya di sekolah. Untuk menjadi siswa pilihan, ada beberapa kriteria yang akan dinilai oleh guru. Aku sendiri di acara itu, tidak memikirkan pengumuman siswa pilihan ini, sejak kepergian ayah dan ibu tiga minggu lalu, sangat membebani pikiranku. Kenapa mereka harus pergi? 

“Dini, Dini… kamu harus naik panggung.” Aku bangun dari lamunanku. Fhya mengguncang-guncang bahuku yang sedari tadi tak kusadari saat memikirkan orangtuaku.
“Eh Fhya, ada apa?”
“Ya ampun, Dini.. namamu udah di sebut dua kali, cepetan naik di panggung.”
“Hah, apa? Kok aku?” Aku menatap Fhya kebingungan.. Tanpa kusadari, banyak pasang mata yang melihatku. Kepala sekolah, sepertinya menatap juga ke arahku. 

Aku yang kebingungan, meninggalkan Fhya menuju panggung. Kuperbaiki posisi jalanku. Di panggung, aku bergabung dengan dua siswa lainnya. Mereka Santi dan Rahman. Siswa berprestasi yang juga saingan terberatku di sekolah.
“Selamat yah Dini, kamu juara pertama siswa pilihan di sekolah ini.”

Deg! Aku sangat kaget. Rahman mengucapkan selamat kepadaku. Dia dan Santi tersenyum sumringah. Aku baru menyadari jika terpilih siswa berprestasi di sekolah ini.
Sesaat sebelum pemberian hadiah dan plakat, kepala sekolah memanggil orang tua masing-masing. Rahman melambaikan tangan ke ibunya. Ibunya menaiki panggung bersama seorang laki-laki yang kukira suaminya, ternyata itu ayah Santi. Mereka langsung mengambil posisi di samping Rahman dan Santi. Sementara itu, aku bergeming.
“Nak, orangtua atau walimu ada?” Bisik kepala sekolah di dekatku.
“Maaf pak, mereka.. ibu dan ayah nggak… ada urusan mendadak pak. Jadi mereka nggak sempat hadir di acara penamatanku. Dan, maaf pak, nggak ada wali.” Aku terbata-bata menjawab pertanyaam Pak kepala sekolah. Saat itu, hatiku rasanya disayat sembilu. Sungguh, seharusnya ini menjadi acara penamatan yang paling berharga untukku. Seharusnya aku senang. Tapi, tanpa kehadiran ibu dan ayah, semuanya terasa hambar. 

Aku berusaha tersenyum saat menerima penghargaan itu. Tepuk tangan bergemuruh saat kepala sekolah memberikan plakat dan penghargaan kepadaku.
“Nak, meskipun orangtuamu tidak hadir, kamu harus tetap semangat dan mempertahankan prestasimu di jenjang berikutnya.”

Aku hanya mengangguk dan tersenyum. Tak banyak yang bisa kukatakan. Mereka kira air mataku adalah air mata haru. Bukan. Air mataku sesungguhnya air mata kesedihan. Sedih karena mengingat orangtuaku yang mungkin saat ini sedang bekerja di tanah rantau. 

***
Ingatan saat acara penamatan di sekolahku terngiang kembali. Aku yang kini berseragam abu-abu masih tak bisa melepaskan kekecewaan dalam hatiku. Saat ini, aku sudah menjadi siswa SMA. Masa putih abu-abu yang seharusnya menjadi momen paling berharga. Tapi, aku tak bisa seceria itu. Jauh dari orangtua, memaksaku harus hidup mandiri. Belum lagi, saat nenekku sudah sakit-sakitan. Aku mengambil semua pekerjaaan nenek yang biasanya memelihara ayam dan berkebun. Juga menjaga adikku. Beruntung aku punya adik. Keberadaan adikku mengurangi sedikit beban pikiranku saat berada di rumah. Adikku sudah kelas 1 SMP. Namanya Sam. Karena dia laki-laki, aku tidak kerepotan menjaga adikku itu. Semenjak perginya ibu mengikuti ayah, kini aku juga harus berperan sebagai ibu.

Sam, selalu membuatku tertawa saat berada di rumah. Dia adik yang lucu. Walau terpaut empat tahun dengan adikku, kami seperti dua orang sahabat yang sangat akrab. Sam, berbeda dariku. Walau jauh dari orangtua, Sam selalu saja bercerita tentang humor apalagi pengalaman-pengalamannya di sekolah. Sam tak terlihat seperti anak yang kehilangan kasih sayang orangtua. Kuakui untuk beberapa hal aku belajar ketegaran dari adikku sendiri. 

Sam hanya pernah mengungkit sekali tentang ibuku. Itupun, saat pertama kali aku memasak di rumah nenek. Kata Sam, masakanku tidak enak seperti ibu. Saat itu aku mencubit Sam. Tanpa kusadari, cubitanku meninggalkan bekas di lengan Sam. Sam merintih. Tapi dia tidak menangis. Lagi, Sam adikku hanya tersenyum. Dan mengataiku dengan mata jahilnya. 

Sudah setahun lebih aku menjalani hari-hariku tanpa orangtua. Selain ke sekolah, aku juga berperan sebagai ibu di rumah untuk adikku yah walaupun sebenarnya aku tak akan pernah seperti ibuku. Dan lagi, Sam adikku jauh lebih tegar dariku. Saat nenek sakit parah, aku sangat khawatir. Tapi, aku sangat bersyukur saat nenekku pulih kembali. Keberadaan nenek, bagikan air yang menghilangkan rasa hausku. Nenek yang sudah renta, namun rasa sayangnya tak pernah berkurang pada kami.

Hanya aku. Aku benar-benar merasa kehilangan. Walau ada Sam dan nenek, aku tak berhenti memikirkan orangtuaku. Seperti apa ayah dan ibuku di sana? Apa mereka bekerja sepanjang hari hingga jarang memberiku kabar? Belum lagi, saat pemberitaan di TV tentang penyiksaan para TKI di Malaysia membuatku merinding dan cemas. Jangan-jangan ayah dan ibu juga mengalami hal yang sama. Tapi, segera kutepis jauh-jauh pemikiran itu. Kiriman uang dari orangtuaku setiap bulan membuatku lega. Setidaknya, ayah dan ibu tidak megalami nasib mengerikan di tanah rantau. 

Aku hanya belum bisa menerima keadaanku saat berpisah dengan mereka juga saat dimana acara penamatanku saat SMP tanpa mereka. Bukan karena kepergiaan orangtuaku yang membuatku tidak ikhlas, tapi alasan mereka yang membuatku menaruh dendam kepada orang lain yang juga keluargaku sendiri.

***
Lima bulan sebelum acara penamatanku, aku pulang dari sekolah. Saat itu, aku bersenandung ria. Tak sabar ingin mengabarkan tentang nilai matematikaku yang tinggi. Namun, saat tiba di pekarangan rumah. Kulihat ibu menangis meraung. Suara kegaduhan meliputi pekarangan rumah. Ayah di pegang oleh beberapa orang. Tak jauh dari ayah, seseorang juga dipegang sekuat-kuatnya. Dia adalah pamanku sendiri. Tapi kenapa mereka berdua dilerai?

Sejak peristiwa itu, Ayah memutuskan untuk meninggalkan kampung halaman. Kata ayah, ini lebih baik daripada menanggung malu bertengkar dengan saudara sendiri hanya persoalan sepele. Belakangan kutahu, jika paman menghina ayah di depan banyak orang karena tak sanggup membayar hutangnya. Ibu bilang, ayah baru mau membayar hutangnya, tapi pamanku keburu emosi. Dan lagi, kata ibu, paman sengaja mempermalukan ayah di depan banyak orang, agar ayah merasa terhina dan meninggalkan kampung ini.

Aku tak tahu banyak hal tentang urusan orangtuaku dengan paman. Karena saat itu, memang aku hanya fokus dengan sekolahku. Yang kutahu sejak kejadian itu, orangtuaku meninggalkan kampung halaman. Kata mereka, di tanah rantau jauh lebih baik. Setidaknya, di sana mereka dapat memperbaiki nasib. Belum lagi, ayah bercita-cita ingin menyekolahkanku tinggi-tinggi agar aku bisa membanggakannya suatu hari nanti.

***
Bulir-bulir air mata menetes di tepi mataku. Kuseka bulir-bulir air mata itu agar tidak dilihat teman-teman sekolah. Saat ini, aku sudah SMA dan sebentar lagi naik kelas tiga. Waktu memang cepat berlalu. Walau masih mengingat kenangan saat berpisah dengan orangtuaku, acara penamatan, adik dan nenekku, aku selalu berusaha untuk menjadi yang tebaik di sekolah ini. 

Ada yang berbeda saat aku menjadi siswa SMA. Semua tentang kepedihan yang kumiliki, membuatku termotivasi untuk menjadi yang lebih baik. Dan semua berawal saat aku bertemu dengan seorang teman saat pertama kali memasuki sekolah SMA ini. Namanya Rika. 

Rika merupakan teman sekelasku. Dia lebih dari sekedar teman bagiku. Rika berbeda sekali denganku. Dia cewek periang dan punya sejuta mimpi. Saat pertama bertemu pun, Rika mendapatiku menangis saat ospek di sekolah. Dia bukannya menertawaiku yang salah memakai atribut, malah Rika menjulurkan tangannya padaku.

Rika memperbaiki atribut yang kupakai, dia juga yang berbaik hati meminjamkan seragam cadangannya yang selalu dia bawa kemana-mana karena seragamku penuh lumpur saat jatuh di got. Aku tak tahu, mengapa Rika melakukan itu semua. Belakangan ini baru kutahu, kalau Rika memang seperti itu. Aku pernah mendapatinya berkali-kali menolong teman atau siapapun saat kami jalan bersama. Bagiku, Rika sosok teman yang tulus.

Kami menjalin hubungan persahabatan. Dimana ada Rika, disitu juga ada aku. Guru-guru dan teman-teman tahu kalau kami sangat bersahabat. Itu terlihat bagaimana kekompakan kami di sekolah. Rika memiliki sejuta mimpi. Dan itu yang membuatku bahagia berteman dengan dia.
Sebelumnya, aku tak pernah seceria ini apalagi dengan mimpi-mimpi. Rika membuatku bermimpi. Dia juga memberikan satu buku yang sampai detik ini kupajang di rak bukuku. Buku itu, tentang mimpi sejuta dollar. Kata Rika, aku harus membaca buku itu. Buku yang juga menjadi favoritnya.
Aku membaca buku itu sampai habis. Tak hanya Rika, aku kini memiliki harapan-harapan. Kupikir, aku juga ingin bermimpi. Memiliki mimpi seperti Rika dan juga Marry Riana yang kini menjadi idolaku. 

Adikku Sam sudah kelas dua SMP. Masih seperti dulu, dia tetap adikku yang ceria. Nenek kini semakin membaik, walau kadang penyakitnya kambuh. Di rumah, Rika sering berkunjung bahkan sampai menginap. 

Aku tak tahu, jika tidak bertemu dengan Rika. Mungkin, aku masih seperti yang dulu. Edel yang pendiam dan terlalu banyak memikirkan nasib. Tentang orangtuaku, kenapa paman begitu mempermalukan ayahku di depan orang banyak, dan tentang kehidupan keluargaku. Aku menyangka jika yang paling memprihatinkan hidupnya hanyalah aku. Namun, di luar dugaanku. Rika sendiri sejak kecil sudah ditinggal orangtuanya. Bahkan ibunya meninggal karena penyakit kanker. Rika menjelaskan semua kisahnya tanpa tetes airmata malah dia hanya tersenyum.

Kata Rika, kita harus berdamai dengan masa lalu. Orang yang pergi di kehidupan kita meskipun kita sangat menyayangi mereka, mereka bukan miliki kita seutuhnya. Karena bagaimanapun, mereka yang kita miliki akan kembali kepada Tuhan.

Aku kagum dengan pemikiran Rika yang sangat dewasa berbeda jauh dengan umurnya. Rika hanya mengatakan bahwa pengalamanlah guru terbaik seseorang. 

***
Aku duduk saat senja menghiasi langit jingga di anjungan Losari Makassar. Kini, bukan hanya orangtuaku yang jauh dariku terpisah oleh laut, tapi juga Rika yang pergi mengejar mimpinya. Kami sudah menjalani kehidupan masing-masing. Aku kuliah di jurusan managemen sesuai mimpiku. Meski begitu, aku tetap ingin menjadi penulis. Dan Rika, dia ingin menjadi pengusaha sukses kaya raya seperti Marry Riana. Semoga saja, mimpi-mimpi itu bisa kami gapai. Kata Rika, rasa sakit itu seperti senja. Jangan jadikan rasa sakit itu seperti es dingin yang akan membeku di dalam hati. Jika pun membeku, kau harus mencairkan es beku itu di hatimu.

Aku bergumam sendiri sembari menikmati anging mamiri di Losari. Aku melepas senja dengan simpul senyum yang melepas kenangan. Aku rindu dengan ayah dan ibu yang masih bekerja di tanah rantau, juga rindu dengan Sam yang kini sudah SMA, aku juga rindu dengan almarhum nenek yang meninggal sebelum ujian nasional. Bagiku, rindu sangat menyayat hati, dan lagi, aku tak boleh larut dalam kesedihan, apalagi cengeng. Kata Rika saat terakhir kami bertemu, aku nggak boleh jadi cewek cengeng. Anggap saja, semua itu adalah senja. Selalu datang setiap hari di penghujung hari, namun senja juga akan pergi. Maka, akupun harus melepas kenangan-kenagan itu, seperti melepas senja.

“Trima kasih Rika aku berjanji untuk tidak larut dalam kesedihan apalagi menjadi cengeng seperti katamu…” gumamku dalam hati.

------
Pict taken by google


0 komentar:

Posting Komentar

Member of Stiletto Book Club

Komunitas Blogger Makassar

Komunitas Blogger Makassar, Anging Mammiri

Member of Warung Blogger

Warung Blogger

Member of Blogger Perempuan

Member Hijab Blogger

Free "Care" Day

Free "Care" Day