[CERBUNG, PART 2] Selalu Ada Perjuangan

 
“Maaf, berkas anda ditolak! Silahkan lengkapi datanya yang tidak sesuai.”
“APA!!!?” Jeritku dalam hati. Tidak mungkin! Selama berjam-jam aku menunggu nomor antrian 108 dari pagi menjelang waktu ashar. Dan saat giliranku tiba, berkasku ditolak!

03.00
“Maaf, KTP dan KK (Kartu Keluarga) Anda tidak sesuai.” Dengan tegas, perempuan separuh baya itu menyodorkan kembali dokumenku.
“Apa iya?” Keningku berkerut. Kupandangai KTP dan KKku, kulihat nomor ID yang tertera di dokumenku. Dan memang benar, datanya tidak sama.
“Ah sial.” Aku membatin.
“Tapi mba, KTP-ku yang ikut di KK ini sudah hilang dan diganti KTP baru. Apa iya tidak bisa diterima? Ini KK asli dan KTP asli aku mba, Cuma KTP lamaku sudah hilang.” Dengan sisa harapan yang kumiliki aku mencoba menegosiasi petugas itu.
“Maaf, kami tidak bisa menerima dokumen Anda. Jika hilang, anda harus mencarinya. Dan data KK serta KTP anda harus sama. Silahkan kembali jika sudah sesuai data-datanya.” Petugas itu mengisyaratkan agar aku meninggalkan ruangan itu cepat. 

Aku meninggalkan ruang pemeriksaan dokumen di kantor imigran. Hatiku berkecamuk, marah dan sangat kecewa. Kuambil berkas-berkasku yang ditolak di atas meja. Sebelum aku pergi, kulirik sekali lagi petugas imigran bagian passport itu. Usianya mungkin sudah memasuki kepala tiga, dia sama sekali tidak menampakkan keramahan yang sungguh-sungguh, mungkin petugas itu sudah lelah melayani puluhan bahkan ratusan masyarakat untuk dibuatkan passport. Tapi, kubuang jauh-jauh rasa peduliku. Aku begitu kesal dengan petugas itu.

Dari kejauhan kulihat pak Kasim sedang menungguku di luar, dan tampaknya berita ini juga akan membuatnya kecewa.

04.30

Apa yang harus kulakukan?

Perjuanganku selama mencetak KK asli terasa sia-sia. Dua hari yang lalu sebelum mengambil nomor antrian, aku menghubungi adikku untuk mengirimkan dokumenku dari kampung. Aku harus menunggu sehari dokumen itu, karena jarak kampung dan kota tempatku kuliah lumayan jauh. Saat dokumen itu tiba, aku sangat bahagia. Sayangnya, KK asli sudah tidak ada. Kata pak Kasim, kantor imigran tidak akan menerima dokumen dalam bentuk kopian. Namun, saat hari pertama aku ke kantor imigran, dokumenku ditolak. Dan saat aku bolak balik dari kampung mencetak KK asli di Capil, lagi dan lagi dokumenku ditolak!

“Tidak ada cara lain dek. Kecuali…” Kalimat itu menggantung. Selama perjalanan pulang, aku dan pak Kasim sibuk dengan pikiran kami masing-masing. Beliau sudah berbaik hati membantuku ke kantor imigran. “Kecuali kalau kamu bisa mendapatkan KK yang sesuai di KTPmu itu.” Pak Kasim mencoba mencari kemungkinan lain.
“Tapi bagaimana? KK milik almarhum nenek sudah tiga tahun hilang. Dan aku tidak pernah mencarinya.” Batinku.

Selama perjalanan pulang, aku menggerutui diriku sendiri. Tiga tahun yang lalu saat nenek mengurus KTP elektronik, beliau menggunakan KK-nya untuk mendaftarkanku. Karena sejak kecil aku tinggal di rumah nenek. Jadi, aku masuk dalam daftar KK beliau. Namun setahun setelahnya, Ibu juga membuat KK yang baru tepat saat aku akan melanjutkan kuliah di kota. Dan sialnya, KTP yang mengikut di KK milik ibu hilang entah kemana. 

“Kamu harus pulang ke kampung mencarinya.” Suara pak Kasim memecah keheningan.
“Apa? Pulang? Bagaimana mungkin. Waktu yang kumiiki hanya sedikit Pak, dan lagipula, aku sudah kehabisan ongkos gara-gara kemarin.” Sayangnya aku hanya bisa mengucapkan kalimat itu dalam hati. “Baik pak, insya Allah akan saya usahakan.” Sial! Pada akhirnya kata ini yang keluar.
Satu-satunya hal yang bisa kulakukan adalah menghubungi adikku. Dia harus membantuku mencari KK asli almarhum nenek. Kedengarannya memang mustahil, karena KK itu sudah tiga tahun tercecer entah di mana.
“Dik, tolong aku mencari KK almarhum nenek yah.” Pintaku dalam SMS selama perjalanan pulang.
“What? tapi di mana aku mencarinya kak. Aku nggak tahu.” Kepalaku mulai pening. Wajar jika adikku tidak tahu KK almarhum nenek.
“Please dek, bantu aku…” Kubalas sekali lagi SMS adikku. Berharap dia akan mencarinya di rumah nenek. Walalu kemungkinan besar dia tidak akan menemukan KK itu. Kalaupun ketemu, mungkin kertasnya sudah hancur.
“Terima kasih pak…” Akhirnya aku tiba di kosan. Sudah dua hari pak Kasim membantuku mengurus passport di kantor imigran. Walau beliau diutus, aku merasa tidak enak hati merepotkan beliau. Mobil itu kembali melaju.

05.55

“Kak, KKnya tidak ada! Aku sudah mencarinya kemana-mana, tapi tidak ketemu. Maaf kak.” Duaaar! SMS dari adikku seperti pukulan telak. Usaha terakhir yang kulakukan tidak bisa menolongku. Dan aku memang tidak berharap banyak untuk dokumen itu sendiri.
Yasudah dek, mau di apa lagi. Makasih yah.” Kurebahkan tubuhku di kamar. Kurasakan hatiku sesak. Perjuanganku selama lima hari melengkapi dokumen, bolak-balik ke imigran, mencoba negosiasi, balik ke kampung hanya sehari dan mendapatkan kehebohan di kantor capil terasa sia-sia. Tanpa kusadari air mataku jatuh.

Seminggu yang lalu,sebuah kabar mengejutkanku. Tanpa diduga, aku memenangkan salah satu program yang diadakan oleh Telkomsel. Dan program itu untuk kalangan pelajar. Dan aku memenangkan program itu sejak mengikutinya di bulan Maret lalu. Goes to Sydney! 

Program Goes to Sydney serta training dari Telkomsel sangat menggiurkan. Bagaimana tidak, semua akomodasi dan biaya selama perjalanan akan ditanggung. Dan tidak hanya itu, kami akan mendapatkan training oleh Terrapiin London selama tiga hari serta mendapatkan sertifikat Internasional. Belum lagi jalan-jalan ke spot-spot terbaik di Sydney. Tapi, apakah aku akan batal mewujudkan mimpiku hanya karena passport dan dokumen? Argh…. Pikiranku berkecamuk. Dan aku betul-betul merasa frustasi.

06.10

Adzan magrib sudah dikumandangkan. Dengan langkah gontai, kuambil air wudhu. Saat melewati westafel, aku melihat wajahku sekilas. Mataku bengkak. Beberapa menit lalu aku menangis. Mungkin, Allah punya cara lain mewujudkan mimpiku. Mungkin belum saatnya aku ke Australia. Mungkin juga, ada tempat lain yang lebih mengejutkan daripada ini. Mungkin ini belum rejekiku saja. Sekelebat kemungkinan itu muncul berargumen di pikiranku. Tidak ada yang bisa kulakukan selain meyakinkan diriku sendiri. Walau aku tak bisa membohongi perasaanku, jika hal itu sangat kuinginkan. Tetapi, semua sudah kulakukan semampuku mengurus passport itu. Aku pasrah. Apapun yang akan terjadi.

06.25

Seusai shalat, aku menyandarkan bahuku di dinding kamar. Hening. Teman-temanku yang lain sibuk di kamar masing-masing. Kupejamkan mataku perlahan. Kuingat mimpi-mimpiku dulu. Ingatanku kembali dua tahun lalu. Saat aku masih mahasiswa baru. Saat itu, aku mengikuti salah satu bimbingan belajar bahasa inggris. Jaraknya cukup jauh dari kosanku tinggal, namun aku sangat antusias saat itu.

Aku masih ingat saat terakhir mengikuti bimbel itu. Kak tentor menyuruh kami menulis di kertas yang dibagikan. Kami harus menulis mimpi kami di kertas kosong itu. Apa yang akan kamu capai saat mencapai usia 22 tahun. Aku berpikir sejenak. Merenungkan tentang mimpi-mimpi yang ingin kuwujdkan. Namun, perasaan aneh menelusup tiba-tiba. Aku merasa kehilangan sesuatu. Apakah pilihanku kuliah di tempat itu saat ini sudah tepat, meski berbanding terbalik dengan kata hatiku? Segera kusingkirkan pikiran itu jauh-jauh. Belakangan ini selama maba, aku merasa menyesali keputusanku. Tapi, tak ada cara lain untuk mengubah keputusan itu. Lagipula aku punya alasan di balik keputusan itu.

Kuambil pena dan secari kertas, lalu aku mulai menulis, “on 22th, I wanna go abroad. Go to Australia and explore it!....and so on.” Secarik kertas itu entah di mana sekarang. Dan mimpi yang pernah kutuliskan sudah lama kulupakan. Dan saat mimpi itu terwujud, semuanya terhenti hanya sebuah passport. Dan mungkin, itu hanya akan menjadi sebuah mimpi. 

“Kring….” Deringan hpku membuatku tersadar dari nostalgiaku yang tiba-tiba.

“Kak, KK ASLINYA SUDAH KUDAPAT!” 

Apa? Aku terlonjak membaca SMS dari adikku. Bagaimana mungkin?
Seperti merasa disambar sebuah petir, aku berucap syukur yang teramat kepada Allah. Dan lagi, saat semuanya mendapati jalan buntu, di mana mimpi-mimpi yang pernah kutulis terasa sirna, dan saat perjuangan sudah mencapai titik akhir, dan saat itulah Allah memberikan sebuah keajaiban.
“Tapi bagamaina cara kau mengambilnya kak?” SMS terakhir dari adikku tidak membuatku berhenti begitu saja. Drama ini belum usai. Masih ada harapan di sana. Dan secepat kilat, ide itu muncul dalam pikiranku.
“Eureka!” Dokumen itu insya Allah bisa sampai besok pagi. Kucari-cari nomor yang bisa membantuku untuk urusan itu.
“Alhamdulillah” 

“Selalu ada perjuangan bahkan saat semuanya sudah diperjuangkan. Karena ujung kehidupan masih jauh. Tiada tempat untuk memberhentikan langkah sebelum semuanya tiba di ujung. Karena itu, jangan pernah menyerah.”--AE--

2 komentar:

  1. break your limits...i like your spirit dek..always effort the best on your life..i support u

    BalasHapus

Member of Stiletto Book Club

Komunitas Blogger Makassar

Komunitas Blogger Makassar, Anging Mammiri

Member of Warung Blogger

Warung Blogger

Member of Blogger Perempuan

Member Hijab Blogger

Free "Care" Day

Free "Care" Day